Selasa, 13 Agustus 2013

Chapter 11 - 4U, OSIS

Chapter 11

Mentari masih bersinar dan sebentar lagi akan mencapai puncaknya. Disinilah aku, di ruang kelas. Duduk sendiri. Aku masih termenung melihat secarik kertas putih di hadapanku. Aku binggung kata-kata apa yang harus ku torehkan disana. Mengingat waktu yang kumiliki tinggal sedikit. Aku memiliki janji saat istirahat. Dan perjalanan dari sini menuju SD ku dulu tidak membutuhkan waktu yang sedikit. Dan jaraknya juga tidak dekat.
Aku harus cepat menyelesaikan surat ini. But, I have no idea. Aku tak tau apa yang harus kutulis untuk memenuhi kertas ini. Hmm.. Ya, pada akhirnya aku hanya memandangi sekitar melihat teman-temanku sedang sibuk dan asik sendiri saat menulis surat itu.
Beberapa menit kemudian, bel istirahat berbunyi. Kertas itu tetap sama, putih bersih tanpa goresan tinta sedikitpun. Dan aku meninggalkannya. Aku berjalan sendiri, keluar kelas, tak seorangpun menghiraukan kepergianku. Dengan kendaraan umum, aku melaju kesana. Ke SD-ku yang dulu.
20 menit kemudian. Aku sampai. Sepi sekali. Anak-anak sedang libur.
‘Eh, Nak Jenny ya?’ sapa seorang pria dari belakang. Itu pak Anton pengurus sekolah, beliau tinggal di sini untuk mengawasi sekolah, bahkan di hari libur seperti ini.
‘Eh iya, Pak Anton masih inget aja. Padahal sudah lama banget saya lulus dari sini Haha..’ Sedikit obrolan mengalir diantara kami, cerita masa lalu, saat aku menjadi bocah ingusan. Sekarang, aku sudah tumbuh menjadi gadis berusia 15 tahun.
‘Oh iya, hampir bapak lupa. Nak Jenny sudah di tunggu oleh Nak Steven. Dia ada di taman sekarang. Gih, temui’
‘Iya..iya. makasih pak’ ucapku seraya meninggalkan pak Anton. Aku berjalan pelan menuju taman SD. Tempat ini menjadi saksi kebahagiaan dan kesedihanku. Menjadi tempat perpisahanku dengan dia. aku tak percaya kini aku kembali lagi kesini.
‘Apa sih maumu Steve? kamukah Steve yang dulu?’ pertanyaan itu berputar di pikiranku. Membuat langkahku terhenti. Aku hanya menatap kedepan dengan tatapan kosong. Menerka-nerka apa yang akan terjadi.
‘Jenny!’ ucapnya membuyarkan lamunanku. aku menangguk dan langsung duduk di sebelahnya.
‘Kenapa lama sekali? Aku sudah menunggumu dari tadi disini’ keluhnya
‘Maaf’ ucapku singkat. Ya, aku tak ingin memperpanjang masalah.
‘Ya. Mm, Jenny. Kau ingat tempat ini?’
‘Bagaimana aku bisa lupa? Tempat ini selalu membayangiku selama 3 tahun. Tempat yang harusnya jadi saksi bahagia. Di tempat ini juga kau akhirnya memutuskan semua. Kau berkata kita tak bisa lebih dekat lagi dan menghancurkan semua harapanku’
‘Ya, aku mengingatnya’
Setelah itu, dia mulai bercerita tentang masa lalu kami. Mengulang kembali kebiasaan yang dia lakukan waktu SD. Sikapnya yang dahulu sempat membuatku jatuh cinta. semuanya masih dia ingat. Bahkan, yang dia lakukan dihari terakhir kami, saat perpisahan. Setelah 3 tahun, jika dia memang ingin meninggalkanku semestinya mustahil dia masih ingat itu.
Dia menarik tanganku dan membawaku jalan-jalan. Mengunjungi satu persatu kelas. Dan melihat kelas 6E, kelas kami dulu. Sama seperti dulu, dia masih suka menggodaku. Lelucon yang sering dia katakan sampai aku bosan, kini di ceritakannya lagi. 3 tahun berpisah dan tak ada yang hilang darinya, waktu 3 tahun tak mengubah sedikitpun dia yang kukenal. dia masih sama seperti Steven yang dulu. Steven yang perduli dan perhatian padaku.
Beberapa menit kemudian, aku sadar jantung ini kembali berdegup kencang. Kusadari hatiku yang beku mulai mencair. Perasaan ini kembali bergetar. Rasa sedih dan penyesalan itu seakan sirna. Aku luluh karena perhatiannya.
‘Siapa kau? Inikah kau? Steve yang dari dulu kutaksir?’ aku membatin.
Hingga pada akhirnya kami kembali lagi ke taman tersebut. Today, I feel so happy.
‘Hahaha.. Sudah cukup Steve. apalagi yang akan kau lakukan untuk membuatku tertawa? Perutku sudah sakit karenanya’
‘Haha, Apapun Jenny. Aku ingin kau tertawa seperti ini. Aku senang melihatmu gembira. Aku mau selalu melihatmu bahagia bersamaku.. Aku mau kamu jadi..’ ucapannya sempat terhenti sejenak.
Sesaat kemudian Ia menggenggam tanganku erat, ia menatap kedalam mataku. ia menatapku lekat, tatapan dulu yang tak pernah berubah. Tatapannya yang teduh dan mengunci. Membuatku tak bisa berhenti menatapnya juga.
‘Jenny, would you be my girl?’ lanjutnya.
Oh Tuhan, kalimat itu. Ungkapan itu. Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa yang harus ku katakan padanya? Apa ini yang kuinginkan? Apa ini impianku? Apa dia benar-benar cinta sejatiku? Ataukah ini hanya sebatas keegoisanku untuk memilikinya? God, please help me.
Tubuhku seperti membeku, aku hanya mematung dihadapan laki-laki yang kusayangi. Kutatap matanya lebih dalam. Tak ada sedikitpun kebohongan yang kutemukan dari binar matanya. Dia menatapku dengan tulus, menunggu jawaban dariku. Namun, bibirku tak mampu berucap apapun. aku binggung.
‘Jenny’ ucapnya sekali lagi. aku tau dia lelah menunggu jawabanku.
Haruskah kembali kupercayai dia? Ucapan manisnya? Tatapan matanya yang teduh? Dan sikapnya yang tulus? Apa aku yakin, dia tak akan meninggalkanku lagi?
‘Maaf Steve, aku tidak bisa’
‘Kenapa?’
‘A..aku sudah tidak menyukaimu lagi. perasaan itu sudah hilang’ ucapku seraya memalingkan wajahku dan melepas genggaman tangannya.
‘Tatap mataku dan katakan itu sekali lagi’
‘Aku tak menyukaimu’ ucapku dengan suara lirih. Aku tak sanggup menatap mata itu.
‘Tolong Jenny, jangan bohongi dirimu. Aku tau kau berbohong. Jauh di lubuk hatimu kau masih menyimpan perasaan itu’
‘T..tidak. kau salah, kau salah!!’
‘Jika benar yang kau katakan, kenapa Jen? Sudah 3 tahun dan kenapa kau belum melupakanku? Kenapa kau masih menungguku hingga kini? Kenapa belum ada laki-laki lain yang menggantikan ku? Temanmu Violetta yang bilang kau terus menyesal, kau bersedih karena perlakuanku waktu itu. Kenapa kau seperti itu jika kau sudah tak menyukaiku?’
Aku terpaku. Aku mematung. Entah apa lagi yang akan kukatakan untuk meyakinkannya.
‘Jenny, aku tau yang kulakukan saat itu adalah kesalahan besar. Aku tau aku sudah melukaimu. Aku minta maaf. Sekarang, aku ingin menebus semuanya. Aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin mendampingimu, selalu ada untukmu dan membuatmu tersenyum. Aku berjanji akan selalu menjagamu’
‘Entahlah Steve, aku tak bisa memberi keputusan dalam waktu sekejap’
‘Tak apa, aku mengerti. Aku akan menunggu sampai akhirnya kau siap. Sekarang, kemarikan buku TTD mu’

Aku menyerahkan buku itu, dan akhirnya ia menandatangai dan lengkaplah sudah semua syarat untuk lulus. Waktu istirahat sudah hampir habis dan kami harus kembali. Sepanjang perjalanan, kata-kata Steve membayangiku. Aku termenung. Kalimat yang kunanti dan aku tak sanggup berkata Iya. Bagaimana dengan perasaanku terhadap Kevin?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar